Mubarakways.com - Hari pertama bulan Muharram, yang menandai dimulainya Tahun Baru Hijriah, merupakan salah satu momen penting dalam kalender Islam yang sarat dengan makna spiritual, historis, dan kultural. Di Indonesia, 1 Muharram 1447 H, jatuh pada hari Kamis, 26 Juni 2025, menurut kesepakatan pemerintah. Lebih dari sekadar pergantian angka tahun, 1 Muharram berfungsi sebagai titik tolak untuk refleksi mendalam, pembaharuan komitmen keagamaan, dan peringatan akan peristiwa monumental yang membentuk identitas dan peradaban Islam. Analisis ini akan menguraikan berbagai dimensi hari suci ini, disertai dengan referensi yang relevan.
 |
| Ucapan Selamat Tahun Baru Hijriyah (Sumber: Detik.com) |
Dimensi Keagamaan dan Spiritual
Secara fundamental, 1 Muharram menandai awal tahun dalam sistem penanggalan Qomariyah (lunar) yang digunakan umat Islam. Signifikansi keagamaannya ditinggikan karena Muharram termasuk dalam empat bulan yang disucikan (Al-Asyhur al-Hurum) dalam Islam. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an: “Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu...” (QS. At-Taubah/9: 36). Bulan-bulan haram (Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab) adalah waktu di mana peperangan dilarang secara tradisional, dan amal ibadah memiliki nilai lebih di sisi Allah.
Kendati peristiwa fisik hijrah Nabi Muhammad SAW beserta Abu Bakar Ash-Shiddiq RA dari Makkah ke Madinah terjadi pada bulan Rabiul Awal, penetapan tahun peristiwa hijrah tersebut sebagai tahun pertama dalam kalender Islam menjadikan 1 Muharram sebagai simbol abadi dari peristiwa transformatif itu. Keputusan bersejarah ini diambil pada masa Khalifah Umar bin Khattab RA setelah musyawarah dengan para sahabat. Sebagaimana diriwayatkan, Umar berkata: “Hijrah telah memisahkan antara yang hak dan yang batil, maka jadikanlah ia sebagai permulaan tahun.” (Disebutkan dalam kitab-kitab sejarah dan sirah seperti Al-Bidayah wa An-Nihayah karya Ibnu Katsir). Oleh karena itu, 1 Muharram bukan sekadar penanda waktu, melainkan pengingat tahunan akan makna hijrah yang mendalam.
Hijrah Nabi Muhammad SAW mewakili titik balik dalam sejarah Islam. Ia bukan semata perpindahan geografis, melainkan sebuah revolusi spiritual dan sosial. Hijrah menandai peralihan dari periode penindasan dan keterbatasan dalam berdakwah di Makkah menuju era pembangunan masyarakat Islam pertama yang mandiri di Madinah, berdasarkan prinsip tauhid, keadilan, persaudaraan (ukhuwah islamiyah), dan persamaan di hadapan hukum. Peristiwa ini mengajarkan nilai-nilai pengorbanan harta dan jiwa (seperti yang dilakukan para sahabat Muhajirin), keteguhan iman di tengah ujian, kesabaran, serta kepercayaan penuh kepada pertolongan Allah. Lebih luas, hijrah menjadi metafora abadi bagi setiap Muslim untuk senantiasa "berhijrah" meninggalkan segala bentuk keburukan, kemaksiatan, kebiasaan negatif, dan kezaliman menuju kebaikan, ketakwaan, dan kehidupan yang diridhai Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang berhijrah itu ialah orang yang meninggalkan apa yang dilarang Allah.” (HR. Bukhari).
Pada tingkat praktik ibadah, menyambut Muharram sering diisi dengan amalan sunnah. Yang paling utama adalah puasa, terutama pada hari Asyura (tanggal 10 Muharram). Rasulullah SAW bersabda: “Puasa hari Asyura, sungguh aku berharap kepada Allah agar menghapuskan dosa setahun sebelumnya.” (HR. Muslim No. 1162). Dianjurkan juga berpuasa pada tanggal 9 Muharram (Tasu’a) untuk menyelisihi tradisi Yahudi. Sebagian ulama juga menganjurkan puasa sunnah pada tanggal 1 Muharram. Momentum ini juga dimanfaatkan umat Islam untuk melakukan muhasabah (introspeksi diri) menyeluruh atas perjalanan hidup selama setahun sebelumnya, mengevaluasi ketaatan kepada Allah, hubungan dengan sesama, serta merencanakan perbaikan diri (hijrah) untuk tahun yang baru. Memperbanyak amal saleh seperti sedekah, membaca Al-Qur'an, berzikir, shalat sunnah, dan silaturahmi juga dianjurkan. Di banyak komunitas, pembacaan doa akhir tahun dan awal tahun menjadi tradisi populer meskipun tidak terdapat tuntunan khusus (sunnah muakkadah) dari Nabi Muhammad SAW, melainkan sebagai bentuk ekspresi harapan dan permohonan berkah kepada Allah yang dibolehkan selama tidak diyakini wajib atau mengandung unsur syirik.
Dimensi Kultural dan Sosial (Konteks Indonesia)
Di Indonesia, peringatan 1 Muharram, yang juga dikenal dalam budaya Jawa sebagai 1 Suro, memiliki warna khas yang memperlihatkan akulturasi yang kaya antara nilai-nilai Islam universal dengan tradisi dan budaya lokal. Fenomena ini menghasilkan berbagai bentuk ekspresi kultural yang beragam di berbagai daerah. Di Jawa, misalnya, tradisi seperti Larungan atau Labuhan (melarung sesaji berupa kepala kerbau atau hasil bumi ke laut atau sungai, seperti di Pantai Selatan Yogyakarta) dan Kirab Pusaka (di Keraton Yogyakarta dan Surakarta) dilaksanakan dengan nuansa Islami, dimaknai sebagai simbol penyerahan diri kepada Tuhan dan penghormatan pada leluhur serta nilai-nilai kearifan lokal. Tradisi Tirakatan (berjaga malam dengan doa, zikir, dan renungan), pertunjukan Wayang Kulit dengan lakon bernapaskan Islam, serta penyajian Bubur Suro (bubur berwarna-warni yang melambangkan kebersamaan dan keselamatan) juga menjadi bagian tak terpisahkan.
Di Sumatera Barat, khususnya di Pariaman, tradisi “Tabuik” atau “Tabut” merupakan puncak peringatan pada 10 Muharram, meskipun persiapan dan semangatnya sudah terasa sejak awal bulan. Tradisi ini memperingati wafatnya Sayyidina Husein bin Ali RA (cucu Nabi Muhammad SAW) di Karbala, namun telah berkembang menjadi festival budaya besar yang menarik wisatawan. Di Banten, atraksi Debus yang menampilkan kekebalan fisik sering dipertunjukkan, diiringi dengan zikir dan pembacaan shalawat. Secara nasional, bentuk peringatan lainnya yang umum adalah pawai obor, penyelenggaraan pengajian akbar yang menghadirkan ulama nasional, lomba-lomba bernuansa Islami (mengaji, kaligrafi, adzan), serta peningkatan aktivitas sosial seperti bakti sosial dan donor darah.
Terlepas dari keragaman ekspresinya, 1 Muharram di Indonesia juga berfungsi sebagai momen penting untuk memperkuat silaturahmi dan kebersamaan. Banyak keluarga dan komunitas memanfaatkan hari libur nasional ini untuk berkumpul, saling mengunjungi, dan mempererat tali persaudaraan. Ceramah-ceramah agama yang disampaikan pada kesempatan ini sering kali mengangkat tema sejarah Hijrah Nabi, perjuangan para sahabat, serta pelajaran-pelajaran aktual yang dapat dipetik untuk menghadapi tantangan kehidupan modern, sehingga memperkuat kesadaran sejarah dan identitas keislaman.
Kontroversi dan Penekanan pada Esensi
Dalam semangat merayakan dan memperingati, penting untuk menyadari beberapa titik yang sering menjadi kontroversi atau memerlukan klarifikasi. Pertama, perlu ditegaskan bahwa 1 Muharram bukan hari raya ibadah (seperti Idul Fitri atau Idul Adha) yang disyariatkan untuk shalat khusus atau perayaan besar-besaran secara ritual wajib. Fokus utamanya adalah pada introspeksi, semangat pembaharuan, dan puasa sunnah (terutama Asyura).
Kedua, dalam praktik kultural yang begitu kaya di Indonesia, terdapat potensi percampuran antara nilai Islam dengan praktik-praktik yang tidak sesuai dengan aqidah Islam yang murni (tauhid). Beberapa tradisi lokal terkadang masih mengandung unsur khurafat (tahayul), seperti keyakinan pada hari nahas atau sial di bulan Suro, atau ritual-ritual tertentu yang berlebihan dan tidak memiliki dasar (dalil) dalam Al-Qur'an dan Sunnah yang shahih. Para ulama mengingatkan pentingnya menyaring tradisi dengan prinsip tauhid dan menjauhi segala bentuk bid’ah (inovasi dalam agama yang tidak berdasar) serta syirik. Imam Syatibi dalam kitab Al-I’tisham menegaskan pentingnya berpegang teguh pada apa yang datang dari Nabi Muhammad SAW dan menjauhi bid’ah yang dapat merusak agama.
Ketiga, ada tantangan untuk memastikan bahwa peringatan 1 Muharram tidak hanya bersifat seremonial belaka. Esensi utama dari hijrah -yaitu perubahan diri yang nyata menuju kebaikan dan ketakwaan- harus menjadi fokus dan tujuan. Momentum ini kehilangan maknanya jika tidak diikuti dengan upaya konkret untuk meninggalkan kebiasaan buruk, meningkatkan ibadah, memperbaiki akhlak, dan berkontribusi positif bagi masyarakat.
Relevansi Kontemporer
Di tengah kompleksitas kehidupan modern, semangat 1 Muharram tetap relevan dan bahkan semakin penting. Spirit hijrah memberikan inspirasi bagi umat Islam untuk terus-menerus melakukan pembenahan diri (personal reform), baik dalam aspek spiritual (hubungan dengan Allah), moral (akhlak), intelektual, maupun sosial. Ia menjadi pengingat untuk tidak stagnan, tetapi terus bergerak maju menuju keadaan yang lebih baik (ihsan). Nilai-nilai yang dibawa Hijrah -seperti keteguhan prinsip, pengorbanan, kerja sama (antara Muhajirin dan Anshar), membangun masyarakat yang adil dan beradab, serta optimisme berdasarkan iman- sangat dibutuhkan untuk menjawab tantangan global dan personal saat ini.
Secara kolektif, 1 Muharram juga berfungsi untuk memperkuat identitas dan kebanggaan sebagai Muslim, mengingatkan pada akar sejarah yang gemilang dan peradaban besar yang dibangun berdasarkan peristiwa Hijrah. Meskipun dirayakan dengan cara yang berbeda-beda di seluruh dunia, hari ini juga berpotensi menjadi pemersatu umat Islam sedunia, mengingatkan mereka pada sejarah bersama dan nilai-nilai universal yang dipegang.
Posting Komentar